Gadis remaja itu
kian beranjak dewasa. Umurnya nyaris menginjak 19 tahun. Lincah, manis,
imut, dan lucu, kadang-kadang pula terkesan bego. Namanya Stroberi.
Berbeda jauh dengan namanya, dia penyuka warna coklat, penggemar
coklat, dan pemuja es krim (yang tentunya rasa coklat). Dia sangat
menggilai kedua makanan itu karena rasanya manis. Jadi, jika dia makan
makanan itu, walapun nggak mandi, dia akan tetap terlihat manis (itu
sih menurut anggapannya) yang dimaklumi oleh enam Kurcaci lainnya, dia
yang ketujuh.
Keenam sahabatnya nggak bisa berkomentar apa- apa
tentang Bee, begitu panggilannya. Mereka hanya bisa bilang kalau mereka
sayang dan cinta… banget pada Bee. Apa pun yang terjadi. Luv u miz u so hard, Beb… begitu password mereka jika ingin berpisah. So sweet…
Bagi
Bee, para Kurcaci bukan sekedar cinta semata, melainkan nyawa
hidupnya, nafas, dan nadi baginya. Bee menamai mereka Karamel, yang
menurut Bee benar-benar imut dan manis seperti karamel, bintang yang
menurutnya selalu bersinar terangi jiwanya dan selalu menjadi penunjuk
ia kepada jalan pulang yang benar. Berikutnya, Gerimis yang selalu
membasuh jiwanya, yang galau dengan rinainya yang lembut. Nemo yang
selalu menjadi penyejuk di saat jiwanya lelah, Micci sang penyemangat
untuk bangkit kembali setelah jatuh terjerembab, dan satu lagi… tentu
saja Bibie sang pangeran berkuda putih yang nggak kelihatan wujud
aslinya (abis… kulitnya gelap, sih). Lengkap sudah kebahagiaan Bee.
Apalagi yang kurang?
Tapi, hidupnya nggak sesempurna seperti
yang terlihat oleh kacamata cakrawala. Bee mencintai seseorang yang
sama sekali nggak mencintai dia. Bulshit! Cowok adalah makhluk
Tuhan yang tidak bisa dipercaya. Lain halnya dengan Bibie, dia bukan
“cowok” tapi dia adalah lelaki sejati atau pria idaman setiap kaum
hawa. Andai saja orang yang dicintai Bee mempunyai sifat seperti Bibie.
Btw… Bee juga seorang pemimpi lho! Sama seperti kebanyakan wanita
lainnya yang memimpikan seorang pangeran berkuda putih yang membawakan
seikat cinta tulus untuknya, mempunyai rumah di atas bukit yang dialiri
danau di bawahnya, di situlah Bee nantinya akan terus melihat sunset ketika santai di sore hari. So…
jika ingin menuju rumah dari depan, harus melajukan sampan dan jika
ingin berjalan dari belakang rumah akan melewati taman bunga yang indah
ditambah dengan pemandangan hutan pinus dan pohon palma yang sengaja
ditata sedemikain rupa di sepanjang pinggir jalan menuju rumah. Di
sanalah nanti Bee akan menikmati sunrise setiap paginya.
Bee
juga suka gerimis. Jika ditanya alasannya, Bee akan menjawab, “Karena
lebih romantis daripada hujan.” Bukan berarti Bee tidak suka hujan.
Menurutnya, gerimis mempunyai aroma khas, bukan pada tanah yang
tersiram, tetapi pada titik- titik air yang ngalir di wajahnya. Bee juga
suka ke pantai menikmati pesona laut dan kilau sunset. Ya… mungkin
hanya dua buah tempat favoritnya, bukit dan laut. Pastinya… semua
kurcaci tahu!
***
Oh ya… hampir kelupaan, ada satu manusia lagi yang tahu segalanya tentang Bee, yang di awal tadi sudah diceritakan sedikit. Something special!
Karena begitu banyak kenangan yang telah dilalui Bee bersamanya. Bee
memanggilnya Dee. Bee sangat mencintainya sama halnya dengan cintanya
kepada Kurcaci. Akan tetapi, Bee juga nggak berniat ingin memiliki atau
berharap cintanya akan dibalas, Bee hanya ingin perasaannya dihargai.
Yupz… hanya itu saja, simple kan? Tapi, inilah yang menjadi masalahnya, jangankan menghargai perasaan Bee, mencintai Bee walau hanya sedikit saja, nggak.
Padahal,
Bee berprinsip bahwa dia tidak hanya ingin dicintai saja, tapi ingin
dihargai juga. Karena menurutnya, mencintai belum tentu bisa menghargai,
tapi menghargai sudah pasti mencintai.
Persahabatan Bee dengan
Dee baik- baik saja semenjak dua tahun terakhir ini, ada juga
pertengkaran-pertengkaran kecil. Bee sudah membina persahabatan dengan
Dee lebih kurang dua tahun lebih enam bulan, berarti setahun lebih lama
ketimbang dengan Kurcaci. Tapi, mengapa Kurcaci lebih memahami Bee
daripada Dee, ya? Sekali lagi, intinya adalah “menghargai”! Selama Bee
berada di kehidupan Kurcaci, nggak ada percekcokan-percekcokan, apalagi
pertengkaran-pertengkaran antara personil-personil Kurcaci.
Pertengkaran besar antara Bee dan Dee terjadi ketika suatu waktu Bee
menyatakan tentang perasaannya pada Dee. Pada saat itu raut wajah Dee
langsung berubah aneh. Setelah diam beberapa saat, dengan suara berat
Dee mulai membuka mulut. “Kita baik- baik aja kan, Bee? Kamu ingin
persahabatan kita hancur hanya gara- gara mengedepankan perasaanmu
kepadaku?”
“Selama kita bersahabat, kita nggak pernah kan buat
perjanjian bahwa kita nggak boleh mempunyai perasaan suka antara satu
sama lain?” sergah Bee.
“Tapi Bee, ini salah!” potong Dee.
“Salah? Apanya yang salah? Yang salah itu jika aku suka sama cewek!” Bee nggak mau kalah.
“Bee… aku cuma nggak mau hanya gara- gara ini persahabatan kita hancur!” nada suara Dee semakin meninggi.
“Dee… aku nggak bilang kan kalau aku ingin miliki kamu?” suara Bee lembut.
“Ya memang, tapi aku tetap nggak bisa terima itu semua, Bee.”
“Enjoy aja lagi Dee, nggak usah dibawa pusing gitu. Parno banget! Anggap aja tadi aku cuma bercanda,” suara enteng Bee menjelaskan.
Dee
tiba- tiba meninggalkan Bee sendirian, tanpa mengucapkan satu kata pun.
“Dee… kemana? Kamu marah, ya?” tegur Bee. Bee betul- betul menyesal.
Seharusnya Bee nggak bilang tentang perasaannya pada Dee. Sebaiknya Bee
simpan saja perasaan itu.
Sejak kejadian itu, Bee tidak pernah
melihat Dee lagi. Dia bagai ditelan bumi, menghilang dari kehidupan
Bee. Padahal, Bee sudah meminta maaf berkali- kali. Tapi, sekarang
jangankan menghubungi Dee, permintaan maaf Bee aja nggak ditanggapinya.
***
Huff…
hanya mimpi! Mungkin ini pertanda bahwa Bee nggak boleh menyatakan
perasaannya pada Dee. Memang ada tiga tipe manusia di dunia ini, ada
yang mempunyai impian dan ingin mewujudkannya, ada juga yang menguburnya
dan membuangnya jauh- jauh, dan yang terakhir ada yang mengambilnya
dan menyimpannya baik-baik sampai akhir hayat. Dan Bee… akan menjadi
manusia terakhir itu. Akan tetapi, pada kenyataannya sama juga, Dee
tetap menjauhinya. Ada apa gerangan? Ini nyaris sama persis seperti
mimpi Bee beberapa hari lalu. Bedanya, di mimpi itu dee mempunyai alasan
mengapa meninggalkan Bee. Tapi, Bee kan nggak pernah bilang tentang
perasaannya pada Dee. Oh… My God! Mungkinkah Dee tahu tentang perasaan Bee melalui perhatian-perhatian yang diberikan Bee padanya.
Anyway…
sebelum Dee meninggalkan Bee, Dee sempat menyisipkan surat di bawah
pintu rumah Bee, isinya nggak lain surat Noe untuk Marsha di Soundtrack
video klip. “Permintaan Hati”nya Letto. Yang berbeda hanya pada kata
“Marsha” diganti dengan kata “Bee” dan pada kata “cahayaku” yang diganti
dengan kata “wortelku”. Mungkin karena Bee sering memanggil Dee dengan
sebutan “bunny”.
Hanya Kurcacilah yang menjadi tempat mengadu.
Bukan hanya Bee saja yang sedih karena peristiwa ini, Kurcaci juga
merasakan hal sama. Mungkin melebihi kesedihan yang sedang melanda Bee.
Yang masih membingungkan Bee adalah pada kata- kata Dee yang berbunyi,
“Aku harus pergi… bukan meninggalkanmu, tapi hanya terlepas darimu.”
Apa
maksudnya, ya? Apa mungkin suatu saat nanti Dee akan kembali? Bee
nggak ingin berlarut- larut dalam kesedihannya. Makanya, Bee mencari
kesibukan yang bisa membuatnya lupakan Dee. Ternyata berhasil! Di sini
masih ada Kurcaci yang selalu menemaninya, baik suka maupun duka. Bee
yakin Kurcaci nggak bakalan meninggalkannya, kecuali sang Maha Kuasa
yang memisahkan mereka. Bersama Kurcaci, Bee kembali melewati hari-hari
cerianya yang sempat hilang hanya gara-gara seorang “cowok”.
Cowok
berbeda dengan pria. Bee juga lebih menfokuskan diri pada kuliahnya
dan meluangkan waktu lebih banyak untuk berkumpul bersama Kuacaci.
Kebiasaan lama seperti traveling dan hang out di
tempat favorit mereka lebih sering dilakukan. Tentu saja hal yang paling
menyenangkan adalah karoke-an bareng di “Stars Box”. Bee telah
berhasil melewati hujan kesedihan yang turun dalam cuaca masa cerianya.
***
Lagi-lagi
nasib baik belum mau bersahabat dengan Bee. Dia akhir- akhir ini
sering terlihat lemas, tidak bersemangat untuk melakukan apa saja dan
keseringan pusing di kampus. Meskipun begitu, Bee tetap saja pasang muka
ceria di depan para Kurcaci. Bee nggak ingin mereka tahu bahwa Bee
sebenarnya sakit. Alasan yang diajukan pada mereka untuk menutupi
sakitnya itu adalah mungkin dia terlalu lelah karena rutinitas yang
dilakukannya sehingga ia kurang istirahat. Lagi-lagi para kurcaci
memakluminya.
“Gejala tersering yang dapat terjadi adalah rasa lelah, panas tanpa infeksi, pucat, nafsu makan hilang, anemia, petekie, pendarahan, nyeri tulang, dan pembesaran kelenjar getah bening, limfa, hati, dan kelenjar mediastinum. Terkadang juga ditemukan hipertrofi gusi, khususnya pada Leukemia Akut Monoblastik dan Mielomonositik.”
Dari
penjelasan dokter, Bee nggak ngerti apa pun, kecuali gejala- gejala
tersebut yang pernah dialami olehnya. Bee hanya tahu bahwa ia menderita
kanker darah. Dokter juga menyarankan Bee agar segera ke spesialis Hematologi (red-penyakit
dalam) untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Dokter juga mengatakan
suatu kenyataan yang harus diterima oleh Bee. “Dengan pengobatan
modern, angka remisi 50-75 %, tetapi angka rata-rata bisa hidup akan
hidup dua tahun dan yang dapat hidup lebih dari lima tahun hanya 10%. Prognogis terburuk adalah Leukemia Monoblastik dan Eritroleukemia, semua pasien meninggal dunia sebelum dua tahun.” Penjelasan yang membuat Bee benar-benar nggak semangat hidup lagi.
Bee
berjanji pada dirinya sendiri nggak bakal menceritakan hal ini kepada
siapa pun. Bee nggak mau mereka sedih dan prihatin dengan keadaannya.
Bee harus tetap tegar menghadapi ini semua. Bee ingin seperti lili putih
yang tetap segar meskipun sudah dipetik.
***
Tak terasa
setahun berlalu semenjak Bee mengetahui bahwa ia menderita kanker darah
tersebut. Keadaan Bee semakin memburuk. Bee semakin jarang terlihat di
kampus. Suatu sore yang mendung, Bee ditemukan pingsan di kamar
mandinya sendiri dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dari hidungnya
keluar darah (red-mimisan). Seketika teman-temannya yang notabene Kurcaci membopongnya ke rumah sakit.
***
Sembilan
bulan sudah Bee terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Cukup
lama juga. Hanya Kurcaci dan keluarganya yang selalu menemaninya
bergantian. Mereka semua benar- benar takut kehilangan Bee, sahabat dan
anak terbaik yang pernah ada dalam kehidupan mereka. Stroberi yang
sekarang tak segar lagi, layu, dan pastinya semakin “cokelat”, sama
seperti warna kesukaan Bee. Apakah ini yang diinginkan Bee? Bukan!
Inilah takdir yang tak dapat disangkal oleh Bee.
Tepat pada hari
Ultah Bee yang ke-22, tak ada angin dan tak ada hujan, serta tak tahu
dari burung mana yang telah mengabari, sosok Dee kembali muncul.
Sebelum memasuki ruang ICU, Dee berhenti sejenak di muka pintu. Dia
memperhatikan ruang 4×4 m yang ditata cukup artistik dengan perpaduan
warna hijau dan putih. Hanya Bee di sana sendirian dengan mengenakan
pakaian berwarna hijau, tak berkutik sedikit pun. Dee membawa sekotak
es krim dan coklat disertai setangkai bunga lili putih favorit Bee. Dee
hanya diam beberapa saat melihat keadaan Bee yang memprihatinkan,
pucat pasi, dan jauh lebih kurus daripada dua tahun silam.
“Bee…
aku tahu kamu merasakan keberadaanku di sini,” secuil kalimat pendek
meluncur dari bibir mungil Dee sembari meletakkan es krim, coklat,
tentunya lili putih di samping ranjang tidur Bee yang juga berwarna
hijau. Hanya sepatah kata itulah yang diucapkan Dee. Sebelum
meninggalkan Bee, Dee sempat menggenggam tangan Bee.
Di pintu
saat keluar, Dee bertemu dengan para kurcaci, hanya menatap sejenak,
tanpa senyum, apalagi menyapa. Dee berlalu begitu saja. Kurcaci hanya
bengong, nggak tahu apakah mereka harus memanggil Dee kembali?
***
Keesokan
harinya, tatkala langit mulai jingga, Dee kembali datang menjenguk
Bee. Dee melirik sejenak ke meja tempat ia meletakkan coklat, es krim,
dan bunga lili yang dibawanya kemarin sembari berseru, “Kok coklat dan
es krimnya belum kamu makan, Bee? Terus bunganya kamu pindah kemana?”
pandangan
Dee mengarah pada vas kecil di samping coklat dan es krim. Ternyata
Kurcaci dan lainnya tak memindahkannya, kecuali lili putih yang ditaruh
ke dalam vas.
“Ntar coklatnya nggak enak lagi tuh, es krimnya juga
udah meleleh. Oh… jangan- jangan kamu udah nggak doyan coklat dan es
krim lagi, ya? Sejak kapan?” Seharusnya Dee nggak perlu melontarkan
pertanyaan- pertanyaan bodoh seperti itu, karena Bee juga nggak bakalan
menjawab setiap pertanyaannya.
Sang bayu berhembus sedikit
kencang dan gerimis mulai menjejaki bumi. Dee melihat samar- samar dari
kaca jendela yang sudah tertutup rapat, tepat berada di atas kepala
tempat tidur Bee. Uapnya menempel di kaca.
“Bee, Gerimis! Favorit
kamu, nih!” seru Dee sambil melirik Bee yang masih tak berkutik. Tak
terasa air mata Dee mengalir. Lembut! Dee sengaja tak menyeka air
matanya, hanya membiarkannya. Bee juga nggak bakalan bisa melihat dia
lagi nangis. Andai saja keadaan Bee tak seperti ini, Bee pasti bakalan
menertawakannya.
“Saat ini hatiku gerimis juga, Bee. Bahkan lebih
deras! Bee, kenapa kamu nggak mau ngomong sama aku?” lanjut Dee galau.
Setelah terdiam beberapa saat, kemudian Dee melantunkan sebait puisi
Bee yang sudah dihapalnya.
sejukmu menghangatkanku
dinginmu menghaguskanku
panasmu membekukanku
baramu mengkristalku
aku tak ingin pergi
saat lembayung senja
atau di kala rentang gerimis
karena rona dan rinaimu
membingkaiku…
“Puisimu
munafik, Bee. Kamu bahkan melewatkan saat-saat seperti ini.” Dee
berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Sebenarnya dari dulu sampai
sekarang, aku iri banget sama kamu. Kamu nggak tahu kan kenapa? Karena
banyak orang yang sayang, cinta, dan perhatian sama kamu. Mereka semua
mengerti dan bisa pahami kamu. Mereka tahu bahwa kamu itu nggak suka
keramaian, nggak suka susu, nggak suka gelap, dan mereka nggak bakalan
meninggalkan kamu sendirian. Tapi aku? Cuma kamu seorang Bee yang
perhatian sama aku, dan perhatian kamu itu berlebihan bagi aku. Aku
nggak pantas terima itu semua, Bee. Aku cuma jadi masalah bagi kamu.”
Air
mata Dee semakin deras membobol benteng pertahanannya, Dee menengadah
ke atas. Sejenak Dee terisak. “Kamu ngerti konsep hidup kan, Bee? Ada
pertemuan dan ada perpisahan, dan kita pasti akan mengalaminya. Itu yang
selama ini aku takutkan. Kamu pernah bilang gini: Aku ingin hidup
seratus tahun. Saat itu aku hanya tersenyum. Lucu! Bukan karena nggak
mungkin, tapi karena hanya kamu yang bisa menirukan kata-kata dan
ekspresi yang sama persis seperti Pooh, tokoh dalam film
favoritmu yang sering kamu tonton. Padahal, pada saat itu aku pengen
banget bilang: Aku ingin hidup seratus tahun kurang satu hari sehingga
aku tak akan pernah merasakan hidup tanpa dirimu.”
Sejenak Dee
menatap keluar jendela, masih gerimis! Gerimis akan terus berlanjut
antara dia dan Bee. Sambil tersenyum kecut, Dee kembali mengenang
saat-saat indah bersama Bee. Kemudian ia meneruskan kalimatnya. “Huff…
aku juga nggak bakalan lupa, selain Winnie The Pooh, kamu juga suka nonton film Spongebob Squarepants.
Kamu suka kedua film itu bukan hanya karena menghibur dengan pola
tingkah dan lelucon mereka saja, tetapi karena nilai persahabatan yang
mendalam yang tidak dapat diukur dengan apa pun. Kamu juga pernah
memaksa aku untuk jadi Piglet atau Patrick, sahabat yang selalu mau mendengar keluh-kesahmu, yang selalu tertawa dengan leluconmu yang garing,
yang ikut sedih kala kau terlempar, dan selalu membuatmu tegar ketika
kamu lemah. Tapi, tetap saja aku nggak bisa melakukan semua itu,
apalagi membalas semuanya, terutama kebaikan-kebaikan dan perhatianmu.
Mungkin aku bukanlah sosok sahabat terbaik bagimu. Sebenarnya atau
seharusnya aku memang nggak pantas disebut sahabat…”
Kalimat Dee
kembali tergantung, ia tak kuasa meneruskannya. Perlahan Dee menghirup
udara yang ada di sekitarnya hingga memenuhi rongga dadanya. Sesak
memang! Dengan perlahan pula, ia mengeluarkan udara tersebut melalui
mulutnya. Sesaat ia terdiam, dan tak lama berselang, “Kamu sendiri kan
tahu aku ini egois. Buktinya saja aku udah pernah meninggalkan kamu dan
pastinya bakalan meninggalkanmu untuk kedua kalinya, tapi nggak akan
kembali lagi buatmu, Bee. Aku lebih baik meninggalkan kamu sekarang
daripada nanti kamu yang akan meninggalkan aku. Mungkin kemarin aku
belum bisa lepas darimu, tapi aku akan terus mencoba agar lepas darimu.
Dan mulai hari ini, besok, dan seterusnya aku nggak akan hanya mencoba
untuk lepas darimu, tapi benar-benar akan meninggalkanmu. Bye…
Stroberi.”
Setelah mengucapkan kata-kata terakhir, dengan wajah
menunduk dan mata sembab, Dee meninggalkan Bee. Sedikit pun Dee tidak
menoleh ke belakang walaupun untuk yang terakhir kalinya. Dan Bee..?
Meskipun Bee tak bisa melihat atau bergerak untuk mencegah agar Dee
jangan pergi lagi dari kehidupannya, tapi dia masih bisa mendengar dan
merasakan dengan hati. Semua… semua… dan sebelum ia terkulai lemas dan
tak berdaya, Bee sempat menitikkan air mata terakhirnya. Hanya setetes.